
Fakta Tragis: Tujuh Warga Badui Meninggal karena Gigitan Ular Berbisa
wongjateng.com – Sahabat Relawan Indonesia (SRI) mencatat ada 49 warga Suku Badui Dalam dan Luar di Kabupaten Lebak, Banten, yang menjadi korban gigitan ular berbisa jenis ular tanah (Calloselasma rhodostoma) antara Januari hingga pertengahan Agustus 2025. Dari jumlah tersebut, tujuh orang meninggal dunia, termasuk dua kasus baru dalam seminggu terakhir, yaitu Jambu (20) dan Sarman (33), yang terlambat dilarikan ke fasilitas medis sehingga tidak tertolong.
Gigitan ular berbisa ini terjadi saat masyarakat Badui membuka lahan ladang di perbukitan. Pada musim tanam, mereka membersihkan ilalang dan sisa potongan kayu yang sering menjadi tempat bersembunyi ular. Hal ini memperbesar risiko kecelakaan gigitan, terlebih saat curah hujan masih sering terjadi siang dan malam hari.
Kenapa Angka Korban Meninggalnya Tinggi? Keterlambatan Kuratif & Serba Terbatas
Muhammad Arif Kirdiat, Koordinator SRI, menegaskan bahwa semua korban meninggal akibat penyebab yang sama: keterlambatan evakuasi ke rumah sakit. Minimnya akses, jarak jauh, dan sanitasi transportasi membuat penanganan warga terlambat, apalagi antivenom (serum anti bisa ular) sangat langka. Puskesmas setempat sering kehabisan stok obat penting ini.
Serum anti bisa ular (ABU) adalah obat penyelamat yang mesti tersedia cepat, tapi ketersediaannya sangat terbatas di daerah Badui. Tanpa adanya obat, korban hanya dirawat suportif tanpa penetralita bisa ular, yang berakibat fatal.
Tantangan Geografis & Sosial dalam Respon Kesehatan
Masyarakat Badui hidup di kawasan hutan dan ladang terpencil—evakuasi pasien membutuhkan waktu lama, menempuh rute sulit. SRI pun hanya bisa mendirikan tiga pos klinik terbatas sebagai garis depan perawatan.
Keterbatasan akses BPJS atau identitas juga membuat penggunaan fasilitas publik tidak mudah. Banyak korban tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat, sehingga harus didampingi surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari relawan agar bisa ditangani di RSUD.
Protokol Pencegahan: Edukasi & Penambahan Infrastruktur Medis
SRI sekarang fokus pada dua strategi: edukasi pencegahan gigitan ular (terutama saat bersih‑bersih ladang) dan penanganan cepat medis jika terjadi gigitan. Edukasi dilakukan secara intensif kepada warga, termasuk penggunaan alas kaki pelindung, waspada habitat ular, dan tidak menggunakan ramuan tradisional sebagai ganti penanganan medis.
Langkah penting lainnya adalah upaya mendatangkan serum antivenom dari Thailand, karena produser terbesar serum ular saat ini di negara tersebut. Di Indonesia, PT Bio Farma sebagai satu-satunya produsen lokal sering mengalami kehabisan stok. Pemerintah daerah didorong untuk mempercepat pengadaan obat vital ini demi menyelamatkan lebih banyak jiwa.
H2 – Kisah Kesembuhan: Harapan dari Klinik & Respon Cepat Relawan
Beberapa warga yang berhasil selamat memberi cerita haru—mereka segera dilaporkan ke pos medis SRI dan mendapatkan penanganan dini. Salah satunya Ambu Sarna, yang kini sudah pulih dan kembali membuka ladangnya menjelang tanam musim ini.
Momen ini mempertegas peran relawan dalam sistem kesehatan di daerah terpencil. Tanpa mereka, korban yang awalnya bisa diselamatkan justru berpotensi jadi korban berikutnya. Model ini jadi contoh nyata integrasi komunitas-bantuan yang menyelamatkan secara konkret.
Penutup Reflektif
Insiden warga Badui meninggal akibat gigitan ular berbisa menyoroti kerentanan akses kesehatan di masyarakat adat. Keterlambatan penanganan dan kelangkaan antivenom memperparah tragedi ini. Edukasi dan penguatan fasilitas medis menjadi kunci untuk mencegah kerugian nyawa lebih banyak.
Ringkasnya
Meski ancaman gigitan ular berbisa tinggi, penyebab utama korban tewas adalah keterlambatan medis dan tidak adanya serum antivenom. Model respons relawan dan penambahan fasilitas medis cepat dapat menjadi penyelamat. Inisiatif bersama perlu digencarkan demi keselamatan masyarakat Badui.